Video pembelajaran matematika ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah Multimedi Pendidikan Matematika. Video pembelajaran ini dikemas dalam bentuk penyampaian berita tentang kasusunpencurian disebuah restoran. Pemeran dalam video ini di antaranya adalah Sefiana sebagai ahli matematika, Rindy dan Devi sebagai Pembawa acara, Annisa sebagai pencuri, dan Kania sebagai pengisi suara.
Mathematics Education
Matematika dan Pendidikan
Rabu, 30 Desember 2015
Video Pembelajaran Matematika
Video pembelajaran matematika ini merupakan salah satu tugas kelompok mata kuliah Multimedi Pendidikan Matematika. Video pembelajaran ini dikemas dalam bentuk penyampaian berita tentang kasusunpencurian disebuah restoran. Pemeran dalam video ini di antaranya adalah Sefiana sebagai ahli matematika, Rindy dan Devi sebagai Pembawa acara, Annisa sebagai pencuri, dan Kania sebagai pengisi suara.
Selasa, 22 Desember 2015
Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa pada Topik Teorema Pythagoras
A. Pendekatan
Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik atau dikenal dengan Realistic
Mathematics Education (RME)
merupakan salah satu pendekatan dalam
pembelajaran matematika yang
telah berhasil di Belanda. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Hans
Freudenthal sekitar tahun 1970 di Institute Ontwikkeling Wiskunde Onderwijs
(IOWO) yang sekarang lebih dikenal dengan Institut Freudenthal. RME berawal
dari proyek Wiskobas yang diprakarsai oleh Edu Wijdeveld dan Fred Goffree pada
tahun 1968.
Pendekatan
pembelajaran matematika realistik menggunakan realitas dan lingkungan yang
dipahami oleh siswa sebagai titik awal proses pembelajaran untuk memperlancar
proses pembelajaran matematika sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai
dengan baik. Selain itu, berdasarkan dua pandangan penting Freudental tentang
RME di atas, berarti dalam pendekatan pembelajaran matematika realistik ini
siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi.
Siswa
harus diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang ada
dalam matematika.
Pendapat
mengenai karakteristik pendekatan matematika realistik pertama kali dikemukakan
oleh Treffers. Menurut Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuizen, 2002)
karakteristik dari pendekatan pembelajaran matematika realistik terdiri dari:
penggunaan konteks, penggunaan model, pemanfaatan hasil konstruksi
siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Namun kemudian dirumuskan kembali oleh Marja van den Heuvel-Panhuizen dan
Drijvers (2013). Menurut van den Heuvel-Panhuizen dan Drijvers (2013) ada 6
karakteristik dari pendekatan matematika realistik, yaitu:
a.
Prinsip
aktivitas
Maksud dari
prinsip aktivitas di sini adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus
diperlakukan sebagai peserta yang aktif. Hal ini juga menekankan bahwa belajar
matematika yang terbaik adalah belajar dengan melakukan sendiri (learning by doing), karena dengan
demikian pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa. Prinsip ini sesuai dengan
pendapat Freudenthal bahwa mathematics as
a human activity.
b.
Prinsip
realitas
Prinsip
realitas yang diakui dalam RME ada dua, yaitu: pertama, realitas itu penting
terkait dengan tujuan pembelajaran matematika, yaitu siswa mampu menerapkan
matematika dalam memecahkan masalah dunia nyata. Kedua, prinsip realitas
berarti bahwa pembelajaran matematika harus dimulai dengan permasalahan yang
bermakna bagi siswa, yang dapat dibayangkan oleh siswa. Dalam RME pembelajaran
dimulai dengan permasalahan yang kaya akan konteks yang dapat mengantarkan
siswa dari pemahaman informal ke pemahaman formal.
c.
Prinsip
tingkatan
Dalam proses
pembelajaran matematika siswa akan melewati berbagai tingkatan pemahaman, mulai
dari pemahaman matematika informal atau konkret menuju pemahan matematika
formal. Untuk menjembatani siswa dari pemahaman matematika informal atau
konkret menuju ke pemahaman matematika formal dapat digunakan model. Oleh
karena itu, model harus dapat berubah dari model dari situasi tertentu ke model
untuk semua situasi yang sama.
d.
Prinsip
keterkaitan
Prinsip
keterkaitan berarti bahwa konsep-konsep yang dalam matematika seperti bilangan,
geometri, dan sebagainya tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan
satu sama lain. Karena banyak permasalahan dalam matematika yang untuk
menyelesaikannya tidak hanya menggunakan satu konsep, tetapi membutuhkan konsep
lainnya.
e.
Prinsip
interaktivitas
Prinsip
interaktivitas dalam RME ini berarti bahwa proses
pembelajaran matematika
tidak hanya kegiatan individu tetapi
juga kegiatan sosial. oleh karena itu, dalam RME proses pembelajaran biasanya
dilakukan dengan diskusi kelompok dan
kegiatan kelompok yang memungkinkan siswa untuk berbagi strategi dan penemuan
mereka dengan orang lain. Dengan cara ini, siswa bisa mendapatkan ide-ide untuk
meningkatkan strategi mereka. Selain itu, dengan adanya interaksi juga
memungkinkan siswa untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
f.
Prinsip
bimbingan
Prinsip
bimbingan atau guidance principle
sejalan dengan pendapat Freudenthal yaitu: guided
reinvention. Ini berarti bahwa dalam pendekatan matematika realistik guru
harus memiliki peran yang pro-aktif dalam proses pembelajaran. Proses
pembelajaran harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat membimbing siswa untuk
meningkatkan pemahamannya.
B. Kemampuan
Pemahaman Konsep
Pemahaman
konsep merupakan salah satu hal yang
sangat penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Murizal dkk. (2012) kemampuan
pemahaman konsep memiliki peranan yang sangat penting dalam tujuan pembelajaran
matematika. Hal tersebut berarti bahwa materi-materi yang diajarkan kepada
siswa tidak hanya hafalan semata, tetapi siswa harus benar-benar memahami dan
mengerti konsep yang diajarkan. Oleh karena itu, setiap siswa harus memiliki
kemampuan pemahaman konsep yang baik agar dapat mempermudah mereka dalam proses
pembelajaran matematika. Menurut
Departemen Pendidikan Nasional (2006) kompetensi pemahaman adalah kemampuan
untuk memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara fleksibel, akurat, efisien dan
tepat dalam pemecahan masalah.
Adapun indikator dari
kemampuan pemahaman konsep berdasarkan Peraturan Dirjen Dikdasmen No.
506/C/PP/2004 adalah sebagai berikut:
1.
menyatakan ulang
sebuah konsep, yaitu mampu menyebutkan definisi berdasarkan konsep esensial
yang dimilik oleh suatu objek;
2.
mengklasifikasikan
objek sesuai dengan konsepnya, yaitu mampu menganalisis suatu objek dan
mengklasifikasikannya menurut sifat-sifat yang sesuai dengan konsepnya;
3.
memberikan contoh dan
bukan contoh dari suatu konsep, yaitu mampu memberikan contoh lain baik untuk
contoh maupun bukan contoh;
4.
menyajikan konsep
dalam berbagai bentuk representasi;
5.
mengembangkan syarat
perlu dan syarat cukup dari suatu konsep, yaitu mampu mengkaji mana
yang merupakan syarat perlu dan mana yang merupakan sayarat cukup dari suatu
konsep;
6.
menggunakan dan
memanfaatkan serta memilih suatu prosedur atau operasi tertentu;
7.
mengaplikasikan konsep
atau algoritma dalam pemecahan masalah.
Bloom (dalam Suherman,
2001) menempatkan pemahaman sebagai aspek kedua setelah
pengetahuan dalam taksonomi Bloom tentang tingkatan kognitif, karena pemahaman terhadap suatu konsep matematika dapat dicapai
apabila siswa memiliki pengetahuan terhadap konsep tersebut. Lebih jauh Bloom (dalam Suherman, 2001) menyebutkan bahwa “pemahaman adalah tingkatan paling rendah dalam aspek
kognisi yang berhubungan dengan penguasaan tentang sesuatu”.
Menurut Murizal dkk. (2012)
“pemahaman merupakan terjemahan dari kata understanding
yang artinya penyerapan arti suatu materi yang dipelajari”. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka siswa harus dapat memahami suatu objek secara
mendalam yang dapat dilakukan dengan mengetahui: 1) objek itu sendiri, 2)
hubungan dengan objek lain yang sejenis, 3) hubungannya dengan objek lain yang
tidak sejenis, 4) hubungan dengan objek dalam teori lainnya.
Kosterman dan
Khiat (dalam Rusmiati 2014) mengatakan bahwa “pemahaman matematika siswa dapat
berubah seiring dengan perubahan konteks belajar mereka”. Hal itu berarti
pemahaman siswa saat ia berada pada jenjang Sekolah Dasar akan berbeda dengan
pemahaman saat ia berada pada jenjang SMP dan berbeda pula dengan pemahaman
saat ia di jenjang SMA.
Berdasarkan beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep adalah
kecakapan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran
matematika yang ditunjukkan
dengan: 1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) mengklasifikasikan objek sesuai
konsep; 3) memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep; 4) menggunakan model, diagram, dan simbol untuk
mempresentasikan suatu konsep; 5) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi; 6) mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah; dan 7) menjelaskan keterkaitan antar konsep.
C. Teorema
Pythagoras
Teorema Pythagoras merupakan salah satu topik matematika
yang diajarkan di kelas VIII semester 2. Teorema ini pertama kali dibuktikan
oleh seorang matematikawan kebangsaan Yunani yang bernama Pythagoras. Sehingga
Pythagoras dianggap sebagai penemu teorema ini. Teorema ini membahas tentang
hubungan antar sisi-sisi pada segitiga siku-siku, yaitu: jika segitiga ABC siku-siku maka berlaku jumlah kuadrat sisi siku-sikunya sama dengan kuadrat hypotenusanya (Mulyana,
2010). Untuk lebih memahami tentang teorema Pythagoras perhatikan gambar
berikut:
Pada gambar
2.1 segitiga ABC adalah segitiga siku-siku di C dengan BC = a dan AC = b sebagai sisi siku-sikunya dan AB
= c sebagai hypotenusanya. Sehingga bila dinyatakan dengan rumus diperoleh: c2 = a2 + b2
D. Pendekatan
Matematika Realistik dalam Pembelajaran Teorema Pythagoras
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pendekatan matematika
realistik proses pembelajaran diawali dari permasalahan-permasalahan realistik
yang yang dapat dipahami oleh siswa dan siswa dibimbing untuk dapat menemukan
sendiri konsep matematika yang disampaikan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
Teorema Pytahgoras dengan pendekatan matematika realistik proses pembelajaran
harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membantu siswa untuk menemukan
sendiri konsep Teorema Pythagoras tersebut.
Untuk memudahkan siswa dalam mempelajari Teorema Pythagoras, proses
pembelajaran dapat diawali dengan memberikan permasalahan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari siswa, misalnya: “Setiap pagi Budi berjalan kaki dari
rumah ke sekolah. Dari rumah Budi berjalan sejauh 1 km ke arah Utara, kemudian
dilanjutkan 2 km ke arah barat. Berapa jarak dari rumah Budi ke sekolah?”. Lalu
guru memberikan penjelasan tentang permasalahan tersebut sampai siswa mengerti
maksud dari permasalahan tersebut dan menyadari bahwa permasalahan tersebut
berkaitan dengan teorema Pythagoras. Sehingga dapat menumbuhkan rasa ingin tahu
dan semangat belajar siswa. Hal ini merupakan penerapan karakteristik RME yang kedua
dan keenam, yaitu prinsip realitas dan bimbingan.
Selanjutnya siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari
6 orang. Siswa yang pandai dikelompokkan dengan siswa yang pandai dan siswa
yang kemampuan akademiknya biasa saja dikelompokkan dengan siswa yang kemampuan
akademiknya biasa saja. Tujuannya agar siswa aktif dalam diskusi kelompoknya.
Karena apabila siswa yang kemampuan akademiknya biasa saja disekelompokkan
dengan siswa yang pandai mereka cenderung akan mengandalkan siswa yang pandai
tersebut. Sehingga kegiatan pembelajaran yang aktif akan sulit terwujud. Hal
ini sesuai dengan prinsip RME yang kelima, yaitu prinsip interaktivitas.
Untuk membimbing siswa menemukan konsep Teorema Pythagoras, setiap kelompok
diberi Lebar Kerja Siswa (LKS). Dalam LKS tersebut disajikan gambar segitiga ABC,
seperti berikut:
Siswa diminta
untuk menggambar tiga buah persegi dengan panjang sisi sesuai dengan panjang
sisi dari segitiga di atas pada tiga kertas berpetak berwarna yang berbeda,
sehingga akan diperoleh luas daerah dari masing-masing persegi tersebut adalah a2, b2, dan c2.
Lalu siswa disuruh untuk menggunting ketiga persegi tersebut dan menempelkannya
berimpit pada sisi-sisi segitiga yang bersesuaian. Diharapkan bangun yang
terbentuk adalah seperti di bawah ini. Hal ini sesuai, dengan karakteristik RME
yang pertama dan ketiga, yaitu prinsip aktivitas dan tingkatan.
Langkah
selanjutnya dengan mengacu pada prinsip RME yang keempat, yaitu prinsip
keterkaitan, siswa diminta untuk menyimpulkan hubungan antara luas ketiga
persegi tersebut. Jawaban yang diharapkan adalah luas persegi terbesar sama
dengan jumlah luas kedua persegi lainnya atau c2 = a2 + b2. Namun, apabila mereka kesulitan untuk menyatakan
hubungan dari ketiga luas segitiga tersebut, berdasarkan karakteristik RME yang
keenam, yaitu prinsip bimbingan, guru dapat membantu siswa untuk menemukan
hubungan luas daerah ketiga persegi tersebut. Untuk membantunya guru dapat
menyuruh mereka untuk menghitung banyaknya persegi satuan pada masing-masing
persegi tersebut dan menyimpulkan hubungan dari jumlah persegi satuan pada
ketiga persegi tersebut. Hasilnya pasti jumlah persegi satuan pada persegi
terbesar sama dengan jumlah persegi satuan pada dua persegi lainnya. Karena
jumlah persegi satuan pada persegi tersebut sama dengan luas daerah persegi
tersebut berarti diperoleh bahwa c2
= a2 + b2. Setelah siswa dapat menemukan teorema
Pythagoras, soal-soal lainnya merupakan penerapan dari teorema Pythagoras.
Diharapkan siswa dapat menggunakan teorema Pythagoras untuk menyelesaikan
permasalahan yang diberikan.
Apabila
siswa telah selesai mengerjakan soal-soal dalam LKS, guru meminta perwakilan
dari dua kelompok untuk mempresentasikan
jawabannya di depan kelas secara bergantian dan kelompok lainnya memperhatikan
serta memberi tanggapan. Hal ini merupakan penerapan karakteristik RME yang
pertama dan kelima, yaitu prinsip aktivitas dan interaktivitas. Dalam
menentukan kelompok yang maju untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
di depan kelas diusahakan kelompok yang paling bagus mengerjakannya dan
kelompok yang banyak kekeliriuan dalam mengerjakannya. Sehingga mereka dapat
membandingkan jawaban dari kedua kelompok tersebut dan mengetahui letak
kesalahannya. Kelompok yang lebih banyak kekeliruan dalam mengerjakannya
dipersilakan untuk maju terlebih dahulu. Setelah kelompok kedua selesai
mempersentasikan hasil diskusi kelompoknya, guru membahas kembali jawaban LKS sebagai
bentuk konfirmasi atas apa yang telah dikerjakan siswa dan mengajak siswa untuk
menyimpulkan apa yang telah dipelajarinya.
Referensi
Departemen
Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Jakarta: Depdiknas.
Mulyana, E.
(2010). Kapita selekta matematika.
FPMIPA: Bandung.
Murizal, A.,
dkk. (2012). Pemahaman konsep matematis dan model pembelajaran quantum teaching. Jurnal Pendidikan Matematika. 1(1), hlm. 19-23.
Peraturan
Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tentang penilaian perkembangan anak didik
SMP.
Rusmiati, L.
(2014). Pengaruh model missouri
mathematics project (MPP) berbasis kontekstual terhadap peningkatan kemampuan
pemahaman dan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Suherman, E., dkk.
(2001). Strategi pembelajaran matematika
kontemporer. Bandung: JICA.
Van den
Heuvel-Panhuizen. (2002). Realistic mathematics education as work in
progress. [Online]. Diakses dari http://www.fisme.science.uu.nl/ staff/marjah/documents/Marja_Work-in-progress.pdf.
Van den
Heuvel-Panhuizen., & Drijvers, P.
(2013).
Realistic mathematics education. Dalam
S. Lerman (Penyunting), Encyclopedia of
mathematics education (hlm. xxx-xxx). New York: Springer.
Senin, 07 Desember 2015
Tugas 2
Pada Tugas 2 ini saya diinstruksikan untuk hunting foto bertema pendidikan dan kemudian mengedit foto-foto tersebut. Dalam Tugas 2 ini terdiri dari dua jenis foto, yaitu foto bangunan dan foto orang. Berikut adalah foto-foto yang saya gunakan untuk Tugas 2 ini.
Foto Bangunan
Untuk foto bangunan, saya mengambil salah satu gedung yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia, yaitu Gedung M. Fakri Gaffar (Gedung FPBS). Berikut adalah foto bangunan sebelum dan sesudah diedit.
Foto Orang
Yang menjadi objek dalam foto ini adalah siswi Sekolah Dasar yang sedang belajar di ruangan kelas. Berikut fotonya sebelum dan sesudah di edit.
Foto Bangunan
Untuk foto bangunan, saya mengambil salah satu gedung yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia, yaitu Gedung M. Fakri Gaffar (Gedung FPBS). Berikut adalah foto bangunan sebelum dan sesudah diedit.
BEFORE
AFTER
Foto pertama dan kedua tidak jauh berbeda, hanya ada beberapa bagian yang dihilangkan, seperti daun yang ada di pojok kiri foto dan orang yang sedang berjalan. Selain itu, saya juga mencoba mengatur kontras dan membersihkan noda-noda kecil pada foto, sehingga foto yang sudah diedit tampak lebih bersih.
Foto Orang
Yang menjadi objek dalam foto ini adalah siswi Sekolah Dasar yang sedang belajar di ruangan kelas. Berikut fotonya sebelum dan sesudah di edit.
BEFORE
AFTER
Pada bagian ini foto sebelum dan sesudah diedit tidak jauh berbeda. Pada foto setelah diedit terlihat bahwa foto hanya difokuskan pada satu siswi, sedangkan siswi lainnya diburamkan.
Sabtu, 02 Mei 2015
RESUME KELOMPOK 8 - KONSEP DASAR DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR DAN PENGAJARAN REMEDIAL
1.
2.
A.
Konsep Dasar Diagnostik Kesulitan Belajar
1.
Definisi Diagnostik Kesulitan Belajar
Diagnosik adalah penentuan
jenis masalah atau kelainan dengan meneliti latar belakang penyebabnya atau dengan
cara menganalisis gejala-gejala yang tampak. Sedangkan kesulitan belajar adalah
rendahnya kepandaian yang dimiliki seseorang dibandingkan dengan kemampuan yang
seharusnya dicapai orang itu pada umur tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa diagnostik
kesulitan belajar merupakan proses menentukan masalah atas ketidakmampuan
peserta didik dalam belajar dengan meneliti latar belakang penyebabnya dan atau
dengan cara menganalisis gejala-gejala kesulitan atau hambatan belajar yang
nampak.
2.
Jenis-Jenis Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar dibagi menjadi tiga
kategori besar, yaitu :
a.
Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa
b.
Permasalahan dalam hal kemampuan
akademik
c.
Kesulitan lainnya, yang mencakup
kesulitan dalam mengoordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar
yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
3.
Faktor Penyebab Munculnya Kesulitan Belajar
Faktor penyebab munculnya kesulitan belajar menurut Sukardi
dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.
Faktor internal,
yang meliputi: kesehatan dan problem menyesuaikan diri.
b.
Faktor
eksternal, yang meliputi: lingkungan, cara guru mengajar yang tidak baik, orang
tua siswa, dan masyarakat sekitar.
4.
Ciri-Ciri Peserta Didik yang Mengalami Kesulitan
Belajar
Ciri-ciri umum
siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat dipahami melalui pengamatan fisik
siswa, perkembangan mental, intelektual, sosial, ekonomi, kepribadian, dan
proses-proses belajar yang yang dilakukannya di sekolah dan di rumah. Ciri-ciri
itu harus dianalisis agar diperoleh kejelasan yang konkret tentang gejala dan
sebab-sebab kesulitan belajar siswa di sekolah dan di rumah. Ketidaksanggupan
belajar disebabkan kerusakan-kerusakan tertentu pada diri seseorang yang
membuat seseorang itu lamban belajar. Menurut Cece Wijaya (2010), kerusakan-kerusakan itu dikategorikan dalam
empat hal, yaitu :
a.
Dyslexia,
adalah kelemahan-kelemahan belajar di bidang menulis dan berbicara.
Ciri-cirinya adalah sulit mengingat huruf, kata, tulisan, dan suara.
b.
Dyscalculia,
adalah kesulitan mengenal angka dan pemahaman terhadap konsep dasar matematika.
c.
Attention Defisit Hyperactive Disorder (ADHD), adalah pemusatan perhatian terhadap
masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Siswa lamban belajar dapat memusatkan
perhatiannya hanya berkisar pada satu pokok bahasan saja.
d.
Spatial, motor, ad perceptual defisits, adalah kondisi lemah dalam menilai dirinya
menurutukuran ruang dan waktu.
5.
Prosedur Diagnostik Kesulitan Belajar
Dalam melakukan diagnostik kesulitan
belajar yang dialami oleh siswa, ada tiga langkah umum yamg harus ditempuh oleh
seorang guru, yaitu :
a. Mendiagnostik
kesulitan belajar yang dialami oleh siswa, yaitu dengan cara mengidentifikasi
kasus dan melokalisasikan jenis dan sifat kesulitan belajar terebut.
b. Mengadakan
estimasi (prognosis) tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar yang
dialami siswa.
c. Mengadakan
terapi, yaitu menemukan berbagai kemungkinan yang dapat dipergunakan dalam
rangka penyembuhan atau mengalami kesulitan belajar yang dialamu oleh siswa
tersebut.
Dalam mendiagnostik kesuliyan belajar
siswa seorang guru harus senantiasa secara teratur memantau dan menerima
informasi tentang kemajuan belajar siswa.
6.
Mendiagnostik Kesulitan Belajar secara Formal
Diagnostik terhadap kesulitan belajar
dilakukan dengan metode uji standar yang membandingkan tingkatan kemampuan
seorang anak terhadap anak lainnya yang dianggap normal. Hasil uji tidak hanya
tergantung pada kemampuan aktual anak, tetapi juga reliabilitas pengujian itu
serta kemampuan sang anak untuk memerhatikan dan memahami pertanyaannya.
Cara mendiagnostik setiap tipe LD (Learning Disorder/Gangguan belajar) berbeda-beda. Untuk mendiagnostik kesulitan
berbicara dan berbahasa, ahli terapi wicara menguji cara pelafalan bunyi bahasa
anak-anak, kosakata, dan pengetahuan tata bahasa serta membandingkannya dengan
kemampuan anak sebaya mereka yang normal. Untuk mendiagnostik gangguan kemampuan atau perkembangan akademis yang
mencakup membaca, menulis, dan matematika, maka pengujiannya dilakukan dengan
metode uji standar.
7.
Evaluasi Diagnostik Kesulitan Belajar
Evaluasi
diagnostik kesulitan belajar merupakan evaluasi yang memiliki penekanan kepada
penyembuhan kesulitan belajar siswa yang tidak terpecahkan oleh formula perbaikan
yang biasanya ditawarkan dalam bentuk tes formatif. Evaluasi diagnostik
kesulitan belajar pada umumnya dilakukan pada awal pengajaran, awal tahun
ajaran atau semester. Tujuan adalah untuk menentukan tingkat pengetahuan awal
siswa. Ada dua hal yang penting dalam melakukan evaluasi diagnostik kesulitan
belajar yaitu (1) penilaian diagnostik pada umumnya jarang digunakan oleh guru
untuk menentukan grade dan (2)
semakin baik evaluasi diagnostik yang dilakukan, semakin jelas tujuan belajar
yang dapat ditetapkan.
B.
Konsep Dasar Pengajaran Remedial
1.
Definisi Pengajaran Remedial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata remedial berarti (1) Remedial yang berhubungan
dengan perbaikan, pengajaran ulang bagi murid yang hasil belajarnya jelek, (2)
Remedial berarti bersifat menyembuhkan (yang disembuhkan adalah beberapa
hambatan / gangguan kepribadian yang berkaitan dengan kesulitan belajar
sehingga dapat timbal balik dalam arti perbaikan belajar atau perbaikan pribadi). Sedangkan
teaching
yang berarti “pengajaran” berarti proses perbuatan, cara mengajar atau
mengajarkan Perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar.
2.
Tujuan dan Fungsi Pengajaran Remedial
a.
Tujuan Pengajaran Remedial
1)
Supaya siswa dapat memahami dirinya, khususnya
prestasi belajarnya, dapat mengenal kelemahan dan kekuatannya dalam mempelajari
suatu bidang studi.
2)
Supaya siswa dapat memperbaiki cara belajarnya
ke arah yang lebih baik.
3)
Supaya siswa dapat memilih materi dan fasilitas
belajar secara tepat.
4)
Supaya siswa dapat mengembangkan sifat dan
kebiasaan yang dapat mendorong tercapainya hasil yang lebih baik.
5)
Supaya siswa dapat melaksanakan tugas-tugas
belajar yang diberikan kepadanya, setelah ia mampu mengatasi hambatan yang
menjadi kesulitan belajarnya, dan mengembangkan sikap serta kebiasaan yang baru
dalam belajar.
b. Fungsi
Pengajaran Remedial
1)
Fungsi Korektif, berarti bahwa melalui
pengajaran remedial dapat dilakukan
perbaikan terhadap hal-hal yang dipandang belum memenuhi apa yang
diharapkan dalam keseluruhan proses pembelajaran.
2)
Fungsi Pemahaman, berarti bahwa dengan remedial
memungkinkan guru, siswa atau pihak-pihak lainnya akan dapat memperoleh
pemahaman yang lebih baik dan komprehesif mengenai pribadi siswa.
3)
Fungsi Penyesuaian, berarti bahwa pengajaran ramedial
dapat membentuk siswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
proses belajarnya.
4)
Fungsi Pengayaan, berarti bahwa melalui
pengajaran remedial, siswa akan dapat memperkaya proses pembelajaran.
5)
Fungsi Akselerasi, berarti bahwa melalui pengajaran
remedial akan dapat diperoleh hasil belajar yang lebih baik dengan menggunakan
waktu yang efektif dan efesien.
6)
Fungsi Terapeutik, berarti bahwa melalui pengajaran remedial secara
langsung atau tidak akan dapat membantu menyembuhkan atau memperbaiki
kondisi-kondisi kepribadian siswa yang diperkirakan menunjukan adanya
penyimpangan.
3.
Metode dalam Pengajaran Remedial
Metode yang dapat digunakan dalam pengajaran remidial, yaitu
:
a. Tanya Jawab, metode ini digunakan
dalam rangka pengenalan kasus untuk mengetahui jenis dan sifat kesulitan siswa.
b. Diskusi, metode ini digunakan dengan
memanfaatkan interaksi antar-individu dalam kelompok untuk memperbaiki
kesulitan belajar yang dialami oleh sekelompok siswa.
c. Tugas, metode ini dapat digunakan
dalam rangka mengenal kasus dan pemberian bantuan kepada siswa yang mengalami
kesulitan belajar.
d. Kerja Kelompok, metode ini hampir
bersamaan dengan pemberian tugas dan diskusi.
e. Tutor adalah siswa sebaya yang
ditugaskan untuk membantu temannya yang mengalami kesulitan belajar, karena
hubungan antara teman umumnya lebih dekat dibandingkan hubungan guru-siswa.
f. Pengajaran Individual adalah
interaksi antara guru-siswa secara individual dalam proses belajar mengajar.
Pendekatan dengan metode ini bersifat terapeutik, artinya mempunyai sifat
penyembuhan dengan cara memperbaiki cara-cara belajar siswa.
4.
Strategi dan Teknik dalam Pendekatan Pengajaran
Remedial
Menurut Izhar Hasis
yang disimpulkan dari Ross
and Stanley dan dari Dinkmeyer and Caldweel dalam bukunya
Developmental Counseling, strategi dan teknik pendekatan pengajaran remidial
meliputi:
a.
Strategi dan Teknik Pendekatan Remedial Teaching yang Bersifat Kuratif
Tindakan
Remedial Teaching dikatakan bersifat
kuratif kalau dilakukan setelah
selesainya program proses belajar mengajar utama diselenggarakan. Teknik
pendekatan yang dipakai dalam hal
ini adalah sebagai berikut :
1)
Pengulangan (repetation)
Pengulangan dapat terjadi pada beberapa tingkatan, yaitu: pada
setiap akhir jam pertemuan, setiap akhir unit pelajaran tertentu, dan pada
setiap satuan program studi.
2)
Pengayaan (enrichment) dan Pengukuhan (reinforcement)
Layanan pengayaan dan pengukuhan ditujukan pada siswa yang mempunyai
kelemahan ringan. Teknik pelaksanaannya
dapat dengan memberikan tugas atau soal pekerjaan rumah.
3)
Percepatan (acceleration)
Percepatan diberiakan kepada
kasus berbakat tetapi menunjukkan
kesulitan psikososial atau ego
emosional.
b.
Strategi dan Teknik pendekatan Remedial Teaching yang Bersifat Preventif
Strategi
dan teknik pendekatan preventif diberikan kepada siswa tertentu berdasarkan
data atau informasi yang ada dapat diantisipasi atau setidaknya patut diduga
akan mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugas belajar. Teknik pendekatan yang dipakai adalah
layanan pengajaran kelompok yang diorganisasikan
secara homogen (homogenius grouping), layanan pengajaran secara
individual dan layanan pengajaran kelompok dengan dilengkapi kelas khusus
remedial dan pengayaan.
c.
Strategi dan Teknik Pendekatan Remedial Teaching Bersifat Pengembangan
Pendekatan
pengembangan merupakan tindak lanjut dari during
teaching diagnostic atau upaya diagnostik yang dilakukan guru selama
berlangsungnya proses belajar mengajar (PBM). Agar strategi pendekatan ini dapat dioperasikan secara teknis yang
sistematis, maka diperlukan adanya pengorganisasian proses belajar mengajar
yang sistematis seperti dalam bentuk pengajaran berprogram.
5.
Langkah-Langkah Melaksanakan Pengajaran Remedial
Pengajaran remedial merupakan salah
satu bentuk bimbingan belajar dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
a.
Meneliti kasus dengan permasalahannya sebagai titik tolak
kegiatan-kegiatan berikutnya.
b.
Menentukan tindakan yang harus dilakukan.
1) Jika kasusnya ringan, tindakan yang
ditentukan adalah memberikan pengajaran remedial kepada siswa tersebut.
2) Jika kasusnya cukup dan berat, maka
sebelum diberikan pengajaran remedial, siswa harus diberikan layanan konseling terlebih dahulu.
c.
Pemberian layanan khusus yaitu bimbingan dan
konseling.
d.
Langkah pelaksanaan pengajaran remedial.
e.
Melakukan pengukuran kembali terhadap prestasi
belajar siswa dengan alat tes sumatif.
f.
Melakukan re-evaluasi dan re-diagnostik.
Terdapat
tiga kemungkinan tafsiran hasil, yaitu sebagai berikut :
1.
Kasus
menunjukkan kenaikan prestasi yang dihasilkan sesuai dengan kriteria yang
diharapkan. Maka selanjutnya diteruskan ke program yang berikutnya.
2.
Kasus
menunjukkan kenaikan prestasi, namun belum memenuhi kriteria yang diharapkan.
Maka kasus diserahkan kepada pembimbing untuk diadakan pengayaan.
3.
Kasus belum
menunjukkan perubahan yang berarti dalam hal prestasi. Maka perlu didiagnostik
lagi untuk mengetahui letak kelemahan pengajaran remedial untuk selanjutnya
diadakan ulangan dengan alternatif yang sama.
6.
Perbandingan Prosedur Pengajaran Biasa dan Remedial
a.
Kegiatan
pengajaran biasa sebagai program belajar mengajar di kelas dan semua siswa ikut
berpartisipasi. Pengajaran perbaikan diadakan setelah diketahui kesulitan
belajar, kemudian diadakan pelayanan khusus.
b.
Tujuan
pengajaran biasa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan sesuai
dengan kurikulum yang berlaku dan sama untuk semua siswa. Pengajaran perbaikan
tujuannnya disesuaikan dengan kesulitan belajar siswa walaupun tujuan akhirnya
sama.
c.
Metode
dalam pengajaran biasa sama buat semua siswa, sedangkan metode dalam pengajaran
perbaikan berdiferensial (sesuai dengan sifat, jenis, dan latar belakang
kesulitan.
d.
Pengajaran
biasa dilakukan oleh guru, sedangkan pengajaran perbaikan oleh team
(kerjasama).
e.
Alat
pengajaran perbaikan lebih bervariasi, yaitu dengan penggunaan tes diagnostik,
sosiometri, dsb.
f.
Pengajaran
perbaikan lebih diferensial dengan pendekatan individual.
g.
Pengajaran
perbaikan evaluasinya disesuaikan dengan kesulitan belajar yang dialami oleh
siswa.
7.
Peran Aparat Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat
dalam Program Pendidikan dan Pengajaran Remedial
Pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran remedial itu merupakan tanggung jawab bersama antara
kepala sekolah, guru, orang tua, pemerhati pendidikan, tata usaha, dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang terkait. Berikut adalah peranan-perananya :
a.
Kepala Sekolah
1)
Harus menguasai sepenuhnya
program pendidikan dan pengajaran remedial di sekolah.
2)
Menyediakan sumber
belajar yang lengkap dan dapat digunakan setiap waktu sesuai dengan kebutuhan.
3)
Memiliki jalinan
kerja sama yang baik dengan orang tua siswa di rumah untuk mengembangkan pendidikan
masa depan anak-anaknya.
4)
Mendirikan dan
mengembangkan Lembaga Pusat Bimbingan dan Penyuluhan yang berfungsi menangani
kesulitan-kesulitan siswa dalam mempelajari pengetahuan.
5)
Mampu mengangkat
seorang ekspert yang bertugas sebagai guru pendidikan remedial
b.
Orang Tua Siswa
1)
Menerima dengan
baik kunjungan sekolah di rumah (home
visit).
2)
Bersikap tanggap
terhadap pembicaraan kasus putra-putranya dan menunjukkan sikap tidak
emosional.
3)
Senang
menghadiri undangan sekolah untuk membicarakan kasus putra-putranya.
4)
Dapat memberikan
data objektif selengkap mungkin tentang kelemahan-kelemahan putranya dalam
pelajaran.
5)
Mampu membantu
memprediksi dan memberi latihan sepenuhnya terhadap kasus yang dihadapinya.
c.
Staf Tata Usaha
Sekolah, berperan mengaministrasi data-data kasus mulai dari latar belakang,
asal-usul dan sebab-sebab kesulitan belajar siswa, cara-cara memprediksi
penyembuhannya, sampai dengan cara-cara penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran remedial.
d.
Penilik Sekolah
1)
Melakukan
kunjungan rutin ke sekolah sekurang-kurangnya dua minggu sekali, mamantau dan
mengawasi jalannya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran remedial yang
telah dirancang sebelumnya.
2)
Menyelenggarakan
diskusi periodik dengan kepala sekolah dan guru-guru tentang upaya pemecahan
kesulitan belajar siswa.
3)
Menyelenggarakan
upaya kerja sama yang baik dengan lembaga-lembaga terkait.
e.
Para Pemerhati
Pendidikan, berperan untuk memberikan pendapat, sikap, dan aspirasinya dalam
upaya penanganan kasus atau dalam hal ini siswa lamban belajar.
f.
Lembaga-Lembaga
Kemasyarakatan Terkait, berperan membantu sekolah dalam
mengumpulkan data objektif tentang latar belakang dan sebab-sebab terjadinya
suatu peristiwa serta membantu dalam penyelesaiannya.
8.
Evaluasi Pengajaran Remedial
Tujuan paling
utama dari evaluasi ini adalah diharapkan 75% taraf pengusaan (level of
mastery). Bila ternyata belum berhasil maka dilakukan diagnostik dan memperoleh
pengajaran remedial kembali. Evaluasi perlu dilakukan secara kontinu untuk
menentukan perkembangan dan prosedur yang hendak dilaksanakan dimasa mendatang.
Evaluasi remidi memiliki arti penting bagi orang-orang terdekat siswa. Oleh
karena itu, perlu diberikan informasi kepada siswa dan orangtua mengenai
perkembangan belajarnya.
Langganan:
Postingan (Atom)