Selasa, 22 Desember 2015

Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa pada Topik Teorema Pythagoras

Oleh: Rindy Eka Arismandani

A.      Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik atau dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang telah berhasil di Belanda. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Hans Freudenthal sekitar tahun 1970 di Institute Ontwikkeling Wiskunde Onderwijs (IOWO) yang sekarang lebih dikenal dengan Institut Freudenthal. RME berawal dari proyek Wiskobas yang diprakarsai oleh Edu Wijdeveld dan Fred Goffree pada tahun 1968.
Pendekatan pembelajaran matematika realistik menggunakan realitas dan lingkungan yang dipahami oleh siswa sebagai titik awal proses pembelajaran untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Selain itu, berdasarkan dua pandangan penting Freudental tentang RME di atas, berarti dalam pendekatan pembelajaran matematika realistik ini siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang ada dalam matematika.
Pendapat mengenai karakteristik pendekatan matematika realistik pertama kali dikemukakan oleh Treffers. Menurut Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuizen, 2002) karakteristik dari pendekatan pembelajaran matematika realistik terdiri dari: penggunaan konteks, penggunaan model, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Namun kemudian dirumuskan kembali oleh Marja van den Heuvel-Panhuizen dan Drijvers (2013). Menurut van den Heuvel-Panhuizen dan Drijvers (2013) ada 6 karakteristik dari pendekatan matematika realistik, yaitu:
a.    Prinsip aktivitas
Maksud dari prinsip aktivitas di sini adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diperlakukan sebagai peserta yang aktif. Hal ini juga menekankan bahwa belajar matematika yang terbaik adalah belajar dengan melakukan sendiri (learning by doing), karena dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa. Prinsip ini sesuai dengan pendapat Freudenthal bahwa mathematics as a  human activity.
b.    Prinsip realitas
Prinsip realitas yang diakui dalam RME ada dua, yaitu: pertama, realitas itu penting terkait dengan tujuan pembelajaran matematika, yaitu siswa mampu menerapkan matematika dalam memecahkan masalah dunia nyata. Kedua, prinsip realitas berarti bahwa pembelajaran matematika harus dimulai dengan permasalahan yang bermakna bagi siswa, yang dapat dibayangkan oleh siswa. Dalam RME pembelajaran dimulai dengan permasalahan yang kaya akan konteks yang dapat mengantarkan siswa dari pemahaman informal ke pemahaman formal.
c.    Prinsip tingkatan
Dalam proses pembelajaran matematika siswa akan melewati berbagai tingkatan pemahaman, mulai dari pemahaman matematika informal atau konkret menuju pemahan matematika formal. Untuk menjembatani siswa dari pemahaman matematika informal atau konkret menuju ke pemahaman matematika formal dapat digunakan model. Oleh karena itu, model harus dapat berubah dari model dari situasi tertentu ke model untuk semua situasi yang sama.
d.   Prinsip keterkaitan
Prinsip keterkaitan berarti bahwa konsep-konsep yang dalam matematika seperti bilangan, geometri, dan sebagainya tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan satu sama lain. Karena banyak permasalahan dalam matematika yang untuk menyelesaikannya tidak hanya menggunakan satu konsep, tetapi membutuhkan konsep lainnya.
e.    Prinsip interaktivitas
Prinsip interaktivitas dalam RME ini berarti bahwa proses pembelajaran matematika tidak hanya kegiatan individu tetapi juga kegiatan sosial. oleh karena itu, dalam RME proses pembelajaran biasanya dilakukan  dengan diskusi kelompok dan kegiatan kelompok yang memungkinkan siswa untuk berbagi strategi dan penemuan mereka dengan orang lain. Dengan cara ini, siswa bisa mendapatkan ide-ide untuk meningkatkan strategi mereka. Selain itu, dengan adanya interaksi juga memungkinkan siswa untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
f.     Prinsip bimbingan
Prinsip bimbingan atau guidance principle sejalan dengan pendapat Freudenthal yaitu: guided reinvention. Ini berarti bahwa dalam pendekatan matematika realistik guru harus memiliki peran yang pro-aktif dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat membimbing siswa untuk meningkatkan pemahamannya.

B.       Kemampuan Pemahaman Konsep
Pemahaman konsep merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Murizal dkk. (2012) kemampuan pemahaman konsep memiliki peranan yang sangat penting dalam tujuan pembelajaran matematika. Hal tersebut berarti bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa tidak hanya hafalan semata, tetapi siswa harus benar-benar memahami dan mengerti konsep yang diajarkan. Oleh karena itu, setiap siswa harus memiliki kemampuan pemahaman konsep yang baik agar dapat mempermudah mereka dalam proses pembelajaran matematika. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006) kompetensi pemahaman adalah kemampuan untuk memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara fleksibel, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
Adapun indikator dari kemampuan pemahaman konsep berdasarkan Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 adalah sebagai berikut:
1.         menyatakan ulang sebuah konsep, yaitu mampu menyebutkan definisi berdasarkan konsep esensial yang dimilik oleh suatu objek;
2.         mengklasifikasikan objek sesuai dengan konsepnya, yaitu mampu menganalisis suatu objek dan mengklasifikasikannya menurut sifat-sifat yang sesuai dengan konsepnya;
3.         memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, yaitu mampu memberikan contoh lain baik untuk contoh maupun bukan contoh;
4.         menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi;
5.         mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup dari suatu konsep, yaitu mampu mengkaji mana yang merupakan syarat perlu dan mana yang merupakan sayarat cukup dari suatu konsep;
6.         menggunakan dan memanfaatkan serta memilih suatu prosedur atau operasi tertentu;
7.         mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah.
Bloom (dalam Suherman, 2001) menempatkan pemahaman sebagai aspek kedua setelah pengetahuan dalam taksonomi Bloom tentang tingkatan kognitif, karena pemahaman terhadap suatu konsep matematika dapat dicapai apabila siswa memiliki pengetahuan terhadap konsep tersebut. Lebih jauh Bloom (dalam Suherman, 2001) menyebutkan bahwa “pemahaman adalah tingkatan paling rendah dalam aspek kognisi yang berhubungan dengan penguasaan tentang sesuatu”.
Menurut Murizal dkk. (2012) “pemahaman merupakan terjemahan dari kata understanding yang artinya penyerapan arti suatu materi yang dipelajari”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka siswa harus dapat memahami suatu objek secara mendalam yang dapat dilakukan dengan mengetahui: 1) objek itu sendiri, 2) hubungan dengan objek lain yang sejenis, 3) hubungannya dengan objek lain yang tidak sejenis, 4) hubungan dengan objek dalam teori lainnya.
Kosterman dan Khiat (dalam Rusmiati 2014) mengatakan bahwa “pemahaman matematika siswa dapat berubah seiring dengan perubahan konteks belajar mereka”. Hal itu berarti pemahaman siswa saat ia berada pada jenjang Sekolah Dasar akan berbeda dengan pemahaman saat ia berada pada jenjang SMP dan berbeda pula dengan pemahaman saat ia di jenjang SMA.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep adalah kecakapan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran matematika yang ditunjukkan dengan: 1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) mengklasifikasikan objek sesuai konsep; 3) memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep; 4)  menggunakan model, diagram, dan simbol untuk mempresentasikan suatu konsep; 5) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi; 6) mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah;  dan 7) menjelaskan keterkaitan antar konsep.

C.      Teorema Pythagoras
Teorema Pythagoras merupakan salah satu topik matematika yang diajarkan di kelas VIII semester 2. Teorema ini pertama kali dibuktikan oleh seorang matematikawan kebangsaan Yunani yang bernama Pythagoras. Sehingga Pythagoras dianggap sebagai penemu teorema ini. Teorema ini membahas tentang hubungan antar sisi-sisi pada segitiga siku-siku, yaitu: jika segitiga ABC siku-siku maka berlaku jumlah kuadrat sisi siku-sikunya sama dengan kuadrat hypotenusanya (Mulyana, 2010). Untuk lebih memahami tentang teorema Pythagoras perhatikan gambar berikut:

Pada gambar 2.1 segitiga ABC adalah segitiga siku-siku di C dengan BC = a dan AC = b sebagai sisi siku-sikunya dan AB = c sebagai hypotenusanya. Sehingga bila dinyatakan dengan rumus diperoleh:        c2 = a2 + b2

D.      Pendekatan Matematika Realistik dalam Pembelajaran Teorema Pythagoras
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pendekatan matematika realistik proses pembelajaran diawali dari permasalahan-permasalahan realistik yang yang dapat dipahami oleh siswa dan siswa dibimbing untuk dapat menemukan sendiri konsep matematika yang disampaikan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran Teorema Pytahgoras dengan pendekatan matematika realistik proses pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membantu siswa untuk menemukan sendiri konsep Teorema Pythagoras tersebut.
Untuk memudahkan siswa dalam mempelajari Teorema Pythagoras, proses pembelajaran dapat diawali dengan memberikan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, misalnya: “Setiap pagi Budi berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Dari rumah Budi berjalan sejauh 1 km ke arah Utara, kemudian dilanjutkan 2 km ke arah barat. Berapa jarak dari rumah Budi ke sekolah?”. Lalu guru memberikan penjelasan tentang permasalahan tersebut sampai siswa mengerti maksud dari permasalahan tersebut dan menyadari bahwa permasalahan tersebut berkaitan dengan teorema Pythagoras. Sehingga dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan semangat belajar siswa. Hal ini merupakan penerapan karakteristik RME yang kedua dan keenam, yaitu prinsip realitas dan bimbingan.
Selanjutnya siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 6 orang. Siswa yang pandai dikelompokkan dengan siswa yang pandai dan siswa yang kemampuan akademiknya biasa saja dikelompokkan dengan siswa yang kemampuan akademiknya biasa saja. Tujuannya agar siswa aktif dalam diskusi kelompoknya. Karena apabila siswa yang kemampuan akademiknya biasa saja disekelompokkan dengan siswa yang pandai mereka cenderung akan mengandalkan siswa yang pandai tersebut. Sehingga kegiatan pembelajaran yang aktif akan sulit terwujud. Hal ini sesuai dengan prinsip RME yang kelima, yaitu prinsip interaktivitas.
Untuk membimbing siswa menemukan konsep Teorema Pythagoras, setiap kelompok diberi Lebar Kerja Siswa (LKS). Dalam LKS tersebut disajikan gambar segitiga ABC, seperti berikut:

 
Siswa diminta untuk menggambar tiga buah persegi dengan panjang sisi sesuai dengan panjang sisi dari segitiga di atas pada tiga kertas berpetak berwarna yang berbeda, sehingga akan diperoleh luas daerah dari masing-masing persegi tersebut adalah a2, b2, dan c2. Lalu siswa disuruh untuk menggunting ketiga persegi tersebut dan menempelkannya berimpit pada sisi-sisi segitiga yang bersesuaian. Diharapkan bangun yang terbentuk adalah seperti di bawah ini. Hal ini sesuai, dengan karakteristik RME yang pertama dan ketiga, yaitu prinsip aktivitas dan tingkatan.
 


Langkah selanjutnya dengan mengacu pada prinsip RME yang keempat, yaitu prinsip keterkaitan, siswa diminta untuk menyimpulkan hubungan antara luas ketiga persegi tersebut. Jawaban yang diharapkan adalah luas persegi terbesar sama dengan jumlah luas kedua persegi lainnya atau c2 = a2 + b2. Namun, apabila mereka kesulitan untuk menyatakan hubungan dari ketiga luas segitiga tersebut, berdasarkan karakteristik RME yang keenam, yaitu prinsip bimbingan, guru dapat membantu siswa untuk menemukan hubungan luas daerah ketiga persegi tersebut. Untuk membantunya guru dapat menyuruh mereka untuk menghitung banyaknya persegi satuan pada masing-masing persegi tersebut dan menyimpulkan hubungan dari jumlah persegi satuan pada ketiga persegi tersebut. Hasilnya pasti jumlah persegi satuan pada persegi terbesar sama dengan jumlah persegi satuan pada dua persegi lainnya. Karena jumlah persegi satuan pada persegi tersebut sama dengan luas daerah persegi tersebut berarti diperoleh bahwa c2 = a2 + b2. Setelah siswa dapat menemukan teorema Pythagoras, soal-soal lainnya merupakan penerapan dari teorema Pythagoras. Diharapkan siswa dapat menggunakan teorema Pythagoras untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Apabila siswa telah selesai mengerjakan soal-soal dalam LKS, guru meminta perwakilan dari dua  kelompok untuk mempresentasikan jawabannya di depan kelas secara bergantian dan kelompok lainnya memperhatikan serta memberi tanggapan. Hal ini merupakan penerapan karakteristik RME yang pertama dan kelima, yaitu prinsip aktivitas dan interaktivitas. Dalam menentukan kelompok yang maju untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas diusahakan kelompok yang paling bagus mengerjakannya dan kelompok yang banyak kekeliriuan dalam mengerjakannya. Sehingga mereka dapat membandingkan jawaban dari kedua kelompok tersebut dan mengetahui letak kesalahannya. Kelompok yang lebih banyak kekeliruan dalam mengerjakannya dipersilakan untuk maju terlebih dahulu. Setelah kelompok kedua selesai mempersentasikan hasil diskusi kelompoknya, guru membahas kembali jawaban LKS sebagai bentuk konfirmasi atas apa yang telah dikerjakan siswa dan mengajak siswa untuk menyimpulkan apa yang telah dipelajarinya.

Referensi
Departemen Pendidikan Nasional. (2006).  Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Mulyana, E. (2010). Kapita selekta matematika. FPMIPA: Bandung.
Murizal, A., dkk. (2012). Pemahaman konsep matematis dan model pembelajaran quantum teaching. Jurnal Pendidikan Matematika. 1(1), hlm. 19-23.
Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tentang penilaian perkembangan anak didik SMP.
Rusmiati, L. (2014). Pengaruh model missouri mathematics project (MPP) berbasis kontekstual terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Suherman, E., dkk. (2001). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA.
Van den Heuvel-Panhuizen. (2002). Realistic mathematics education as work in progress. [Online]. Diakses dari http://www.fisme.science.uu.nl/ staff/marjah/documents/Marja_Work-in-progress.pdf.
Van den Heuvel-Panhuizen., & Drijvers, P. (2013). Realistic mathematics education. Dalam S. Lerman (Penyunting), Encyclopedia of mathematics education (hlm. xxx-xxx). New York: Springer.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar