A. Pendekatan
Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik atau dikenal dengan Realistic
Mathematics Education (RME)
merupakan salah satu pendekatan dalam
pembelajaran matematika yang
telah berhasil di Belanda. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Hans
Freudenthal sekitar tahun 1970 di Institute Ontwikkeling Wiskunde Onderwijs
(IOWO) yang sekarang lebih dikenal dengan Institut Freudenthal. RME berawal
dari proyek Wiskobas yang diprakarsai oleh Edu Wijdeveld dan Fred Goffree pada
tahun 1968.
Pendekatan
pembelajaran matematika realistik menggunakan realitas dan lingkungan yang
dipahami oleh siswa sebagai titik awal proses pembelajaran untuk memperlancar
proses pembelajaran matematika sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai
dengan baik. Selain itu, berdasarkan dua pandangan penting Freudental tentang
RME di atas, berarti dalam pendekatan pembelajaran matematika realistik ini
siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi.
Siswa
harus diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang ada
dalam matematika.
Pendapat
mengenai karakteristik pendekatan matematika realistik pertama kali dikemukakan
oleh Treffers. Menurut Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuizen, 2002)
karakteristik dari pendekatan pembelajaran matematika realistik terdiri dari:
penggunaan konteks, penggunaan model, pemanfaatan hasil konstruksi
siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Namun kemudian dirumuskan kembali oleh Marja van den Heuvel-Panhuizen dan
Drijvers (2013). Menurut van den Heuvel-Panhuizen dan Drijvers (2013) ada 6
karakteristik dari pendekatan matematika realistik, yaitu:
a.
Prinsip
aktivitas
Maksud dari
prinsip aktivitas di sini adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus
diperlakukan sebagai peserta yang aktif. Hal ini juga menekankan bahwa belajar
matematika yang terbaik adalah belajar dengan melakukan sendiri (learning by doing), karena dengan
demikian pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa. Prinsip ini sesuai dengan
pendapat Freudenthal bahwa mathematics as
a human activity.
b.
Prinsip
realitas
Prinsip
realitas yang diakui dalam RME ada dua, yaitu: pertama, realitas itu penting
terkait dengan tujuan pembelajaran matematika, yaitu siswa mampu menerapkan
matematika dalam memecahkan masalah dunia nyata. Kedua, prinsip realitas
berarti bahwa pembelajaran matematika harus dimulai dengan permasalahan yang
bermakna bagi siswa, yang dapat dibayangkan oleh siswa. Dalam RME pembelajaran
dimulai dengan permasalahan yang kaya akan konteks yang dapat mengantarkan
siswa dari pemahaman informal ke pemahaman formal.
c.
Prinsip
tingkatan
Dalam proses
pembelajaran matematika siswa akan melewati berbagai tingkatan pemahaman, mulai
dari pemahaman matematika informal atau konkret menuju pemahan matematika
formal. Untuk menjembatani siswa dari pemahaman matematika informal atau
konkret menuju ke pemahaman matematika formal dapat digunakan model. Oleh
karena itu, model harus dapat berubah dari model dari situasi tertentu ke model
untuk semua situasi yang sama.
d.
Prinsip
keterkaitan
Prinsip
keterkaitan berarti bahwa konsep-konsep yang dalam matematika seperti bilangan,
geometri, dan sebagainya tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan
satu sama lain. Karena banyak permasalahan dalam matematika yang untuk
menyelesaikannya tidak hanya menggunakan satu konsep, tetapi membutuhkan konsep
lainnya.
e.
Prinsip
interaktivitas
Prinsip
interaktivitas dalam RME ini berarti bahwa proses
pembelajaran matematika
tidak hanya kegiatan individu tetapi
juga kegiatan sosial. oleh karena itu, dalam RME proses pembelajaran biasanya
dilakukan dengan diskusi kelompok dan
kegiatan kelompok yang memungkinkan siswa untuk berbagi strategi dan penemuan
mereka dengan orang lain. Dengan cara ini, siswa bisa mendapatkan ide-ide untuk
meningkatkan strategi mereka. Selain itu, dengan adanya interaksi juga
memungkinkan siswa untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
f.
Prinsip
bimbingan
Prinsip
bimbingan atau guidance principle
sejalan dengan pendapat Freudenthal yaitu: guided
reinvention. Ini berarti bahwa dalam pendekatan matematika realistik guru
harus memiliki peran yang pro-aktif dalam proses pembelajaran. Proses
pembelajaran harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat membimbing siswa untuk
meningkatkan pemahamannya.
B. Kemampuan
Pemahaman Konsep
Pemahaman
konsep merupakan salah satu hal yang
sangat penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Murizal dkk. (2012) kemampuan
pemahaman konsep memiliki peranan yang sangat penting dalam tujuan pembelajaran
matematika. Hal tersebut berarti bahwa materi-materi yang diajarkan kepada
siswa tidak hanya hafalan semata, tetapi siswa harus benar-benar memahami dan
mengerti konsep yang diajarkan. Oleh karena itu, setiap siswa harus memiliki
kemampuan pemahaman konsep yang baik agar dapat mempermudah mereka dalam proses
pembelajaran matematika. Menurut
Departemen Pendidikan Nasional (2006) kompetensi pemahaman adalah kemampuan
untuk memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara fleksibel, akurat, efisien dan
tepat dalam pemecahan masalah.
Adapun indikator dari
kemampuan pemahaman konsep berdasarkan Peraturan Dirjen Dikdasmen No.
506/C/PP/2004 adalah sebagai berikut:
1.
menyatakan ulang
sebuah konsep, yaitu mampu menyebutkan definisi berdasarkan konsep esensial
yang dimilik oleh suatu objek;
2.
mengklasifikasikan
objek sesuai dengan konsepnya, yaitu mampu menganalisis suatu objek dan
mengklasifikasikannya menurut sifat-sifat yang sesuai dengan konsepnya;
3.
memberikan contoh dan
bukan contoh dari suatu konsep, yaitu mampu memberikan contoh lain baik untuk
contoh maupun bukan contoh;
4.
menyajikan konsep
dalam berbagai bentuk representasi;
5.
mengembangkan syarat
perlu dan syarat cukup dari suatu konsep, yaitu mampu mengkaji mana
yang merupakan syarat perlu dan mana yang merupakan sayarat cukup dari suatu
konsep;
6.
menggunakan dan
memanfaatkan serta memilih suatu prosedur atau operasi tertentu;
7.
mengaplikasikan konsep
atau algoritma dalam pemecahan masalah.
Bloom (dalam Suherman,
2001) menempatkan pemahaman sebagai aspek kedua setelah
pengetahuan dalam taksonomi Bloom tentang tingkatan kognitif, karena pemahaman terhadap suatu konsep matematika dapat dicapai
apabila siswa memiliki pengetahuan terhadap konsep tersebut. Lebih jauh Bloom (dalam Suherman, 2001) menyebutkan bahwa “pemahaman adalah tingkatan paling rendah dalam aspek
kognisi yang berhubungan dengan penguasaan tentang sesuatu”.
Menurut Murizal dkk. (2012)
“pemahaman merupakan terjemahan dari kata understanding
yang artinya penyerapan arti suatu materi yang dipelajari”. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka siswa harus dapat memahami suatu objek secara
mendalam yang dapat dilakukan dengan mengetahui: 1) objek itu sendiri, 2)
hubungan dengan objek lain yang sejenis, 3) hubungannya dengan objek lain yang
tidak sejenis, 4) hubungan dengan objek dalam teori lainnya.
Kosterman dan
Khiat (dalam Rusmiati 2014) mengatakan bahwa “pemahaman matematika siswa dapat
berubah seiring dengan perubahan konteks belajar mereka”. Hal itu berarti
pemahaman siswa saat ia berada pada jenjang Sekolah Dasar akan berbeda dengan
pemahaman saat ia berada pada jenjang SMP dan berbeda pula dengan pemahaman
saat ia di jenjang SMA.
Berdasarkan beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep adalah
kecakapan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran
matematika yang ditunjukkan
dengan: 1) menyatakan ulang sebuah konsep; 2) mengklasifikasikan objek sesuai
konsep; 3) memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep; 4) menggunakan model, diagram, dan simbol untuk
mempresentasikan suatu konsep; 5) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi; 6) mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah; dan 7) menjelaskan keterkaitan antar konsep.
C. Teorema
Pythagoras
Teorema Pythagoras merupakan salah satu topik matematika
yang diajarkan di kelas VIII semester 2. Teorema ini pertama kali dibuktikan
oleh seorang matematikawan kebangsaan Yunani yang bernama Pythagoras. Sehingga
Pythagoras dianggap sebagai penemu teorema ini. Teorema ini membahas tentang
hubungan antar sisi-sisi pada segitiga siku-siku, yaitu: jika segitiga ABC siku-siku maka berlaku jumlah kuadrat sisi siku-sikunya sama dengan kuadrat hypotenusanya (Mulyana,
2010). Untuk lebih memahami tentang teorema Pythagoras perhatikan gambar
berikut:
Pada gambar
2.1 segitiga ABC adalah segitiga siku-siku di C dengan BC = a dan AC = b sebagai sisi siku-sikunya dan AB
= c sebagai hypotenusanya. Sehingga bila dinyatakan dengan rumus diperoleh: c2 = a2 + b2
D. Pendekatan
Matematika Realistik dalam Pembelajaran Teorema Pythagoras
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pendekatan matematika
realistik proses pembelajaran diawali dari permasalahan-permasalahan realistik
yang yang dapat dipahami oleh siswa dan siswa dibimbing untuk dapat menemukan
sendiri konsep matematika yang disampaikan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
Teorema Pytahgoras dengan pendekatan matematika realistik proses pembelajaran
harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membantu siswa untuk menemukan
sendiri konsep Teorema Pythagoras tersebut.
Untuk memudahkan siswa dalam mempelajari Teorema Pythagoras, proses
pembelajaran dapat diawali dengan memberikan permasalahan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari siswa, misalnya: “Setiap pagi Budi berjalan kaki dari
rumah ke sekolah. Dari rumah Budi berjalan sejauh 1 km ke arah Utara, kemudian
dilanjutkan 2 km ke arah barat. Berapa jarak dari rumah Budi ke sekolah?”. Lalu
guru memberikan penjelasan tentang permasalahan tersebut sampai siswa mengerti
maksud dari permasalahan tersebut dan menyadari bahwa permasalahan tersebut
berkaitan dengan teorema Pythagoras. Sehingga dapat menumbuhkan rasa ingin tahu
dan semangat belajar siswa. Hal ini merupakan penerapan karakteristik RME yang kedua
dan keenam, yaitu prinsip realitas dan bimbingan.
Selanjutnya siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari
6 orang. Siswa yang pandai dikelompokkan dengan siswa yang pandai dan siswa
yang kemampuan akademiknya biasa saja dikelompokkan dengan siswa yang kemampuan
akademiknya biasa saja. Tujuannya agar siswa aktif dalam diskusi kelompoknya.
Karena apabila siswa yang kemampuan akademiknya biasa saja disekelompokkan
dengan siswa yang pandai mereka cenderung akan mengandalkan siswa yang pandai
tersebut. Sehingga kegiatan pembelajaran yang aktif akan sulit terwujud. Hal
ini sesuai dengan prinsip RME yang kelima, yaitu prinsip interaktivitas.
Untuk membimbing siswa menemukan konsep Teorema Pythagoras, setiap kelompok
diberi Lebar Kerja Siswa (LKS). Dalam LKS tersebut disajikan gambar segitiga ABC,
seperti berikut:
Siswa diminta
untuk menggambar tiga buah persegi dengan panjang sisi sesuai dengan panjang
sisi dari segitiga di atas pada tiga kertas berpetak berwarna yang berbeda,
sehingga akan diperoleh luas daerah dari masing-masing persegi tersebut adalah a2, b2, dan c2.
Lalu siswa disuruh untuk menggunting ketiga persegi tersebut dan menempelkannya
berimpit pada sisi-sisi segitiga yang bersesuaian. Diharapkan bangun yang
terbentuk adalah seperti di bawah ini. Hal ini sesuai, dengan karakteristik RME
yang pertama dan ketiga, yaitu prinsip aktivitas dan tingkatan.
Langkah
selanjutnya dengan mengacu pada prinsip RME yang keempat, yaitu prinsip
keterkaitan, siswa diminta untuk menyimpulkan hubungan antara luas ketiga
persegi tersebut. Jawaban yang diharapkan adalah luas persegi terbesar sama
dengan jumlah luas kedua persegi lainnya atau c2 = a2 + b2. Namun, apabila mereka kesulitan untuk menyatakan
hubungan dari ketiga luas segitiga tersebut, berdasarkan karakteristik RME yang
keenam, yaitu prinsip bimbingan, guru dapat membantu siswa untuk menemukan
hubungan luas daerah ketiga persegi tersebut. Untuk membantunya guru dapat
menyuruh mereka untuk menghitung banyaknya persegi satuan pada masing-masing
persegi tersebut dan menyimpulkan hubungan dari jumlah persegi satuan pada
ketiga persegi tersebut. Hasilnya pasti jumlah persegi satuan pada persegi
terbesar sama dengan jumlah persegi satuan pada dua persegi lainnya. Karena
jumlah persegi satuan pada persegi tersebut sama dengan luas daerah persegi
tersebut berarti diperoleh bahwa c2
= a2 + b2. Setelah siswa dapat menemukan teorema
Pythagoras, soal-soal lainnya merupakan penerapan dari teorema Pythagoras.
Diharapkan siswa dapat menggunakan teorema Pythagoras untuk menyelesaikan
permasalahan yang diberikan.
Apabila
siswa telah selesai mengerjakan soal-soal dalam LKS, guru meminta perwakilan
dari dua kelompok untuk mempresentasikan
jawabannya di depan kelas secara bergantian dan kelompok lainnya memperhatikan
serta memberi tanggapan. Hal ini merupakan penerapan karakteristik RME yang
pertama dan kelima, yaitu prinsip aktivitas dan interaktivitas. Dalam
menentukan kelompok yang maju untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
di depan kelas diusahakan kelompok yang paling bagus mengerjakannya dan
kelompok yang banyak kekeliriuan dalam mengerjakannya. Sehingga mereka dapat
membandingkan jawaban dari kedua kelompok tersebut dan mengetahui letak
kesalahannya. Kelompok yang lebih banyak kekeliruan dalam mengerjakannya
dipersilakan untuk maju terlebih dahulu. Setelah kelompok kedua selesai
mempersentasikan hasil diskusi kelompoknya, guru membahas kembali jawaban LKS sebagai
bentuk konfirmasi atas apa yang telah dikerjakan siswa dan mengajak siswa untuk
menyimpulkan apa yang telah dipelajarinya.
Referensi
Departemen
Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Jakarta: Depdiknas.
Mulyana, E.
(2010). Kapita selekta matematika.
FPMIPA: Bandung.
Murizal, A.,
dkk. (2012). Pemahaman konsep matematis dan model pembelajaran quantum teaching. Jurnal Pendidikan Matematika. 1(1), hlm. 19-23.
Peraturan
Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tentang penilaian perkembangan anak didik
SMP.
Rusmiati, L.
(2014). Pengaruh model missouri
mathematics project (MPP) berbasis kontekstual terhadap peningkatan kemampuan
pemahaman dan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Suherman, E., dkk.
(2001). Strategi pembelajaran matematika
kontemporer. Bandung: JICA.
Van den
Heuvel-Panhuizen. (2002). Realistic mathematics education as work in
progress. [Online]. Diakses dari http://www.fisme.science.uu.nl/ staff/marjah/documents/Marja_Work-in-progress.pdf.
Van den
Heuvel-Panhuizen., & Drijvers, P.
(2013).
Realistic mathematics education. Dalam
S. Lerman (Penyunting), Encyclopedia of
mathematics education (hlm. xxx-xxx). New York: Springer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar